*for some personal reasons, I'm going to use Bahasa in the majority of the passage
Tepat 1 tahun yang lalu, 1 Januari 2014. Jam 2 pagi, semua orang sudah terlelap. Saya yang masih tidak mengantuk hanya duduk sendirian di ruang TV, mulai memikirkan mengenai apa yang sudah terjadi 1 tahun belakangan. Begitu banyak yang sudah saya dapatkan dan seharusnya saya syukuri. Namun saya tetap tidak merasakan apapun. Hampa, seakan kehidupan belum terasa lengkap.
Don’t get me wrong: I am thankful for all the privilege that I got. But there was this feeling, when you just feel like you’re missing something. Saya merasa ada yang salah dalam kehidupan saya. Saya merasa hidup ini hanyalah sekumpulan rutinitas yang harus diselesaikan. Saya merasa bahwa setiap hal yang saya lakukan di hidup saya tidak pernah bisa memuaskan diri saya sendiri, terlebih orang lain. Apa yang saya buat tidak pernah sesuai dengan yang saya inginkan, tak pernah sesempurna yang saya mau. Apakah salah mencari kesempurnaan? Apakah kesempurnaan itu ada? Ataukah kesempurnaan hanyalah fatamorgana yang membuat kita sebagai manusia lari kearah yang salah di tengah gersangnya gurun kehidupan? Hingga saya tiba disatu titik dimana merasa saya tidak bahagia.
Tepat 1 tahun yang lalu, 1 Januari 2014. Jam 2 pagi, semua orang sudah terlelap. Saya yang masih tidak mengantuk hanya duduk sendirian di ruang TV, mulai memikirkan mengenai apa yang sudah terjadi 1 tahun belakangan. Begitu banyak yang sudah saya dapatkan dan seharusnya saya syukuri. Namun saya tetap tidak merasakan apapun. Hampa, seakan kehidupan belum terasa lengkap.
Don’t get me wrong: I am thankful for all the privilege that I got. But there was this feeling, when you just feel like you’re missing something. Saya merasa ada yang salah dalam kehidupan saya. Saya merasa hidup ini hanyalah sekumpulan rutinitas yang harus diselesaikan. Saya merasa bahwa setiap hal yang saya lakukan di hidup saya tidak pernah bisa memuaskan diri saya sendiri, terlebih orang lain. Apa yang saya buat tidak pernah sesuai dengan yang saya inginkan, tak pernah sesempurna yang saya mau. Apakah salah mencari kesempurnaan? Apakah kesempurnaan itu ada? Ataukah kesempurnaan hanyalah fatamorgana yang membuat kita sebagai manusia lari kearah yang salah di tengah gersangnya gurun kehidupan? Hingga saya tiba disatu titik dimana merasa saya tidak bahagia.
Namun di titik itu pula saya mempertanyakan, apa itu kebahagiaan? Apa itu kesempurnaan? Saya yang masih terus bertanya-tanya memutuskan untuk menjadikan kedua pertanyaan ini menjadi resolusi saya di tahun 2014. Saya merasa mempunyai kewajiban untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.
I carried those questions throughout the year. Sampai-sampai, tanpa disengaja seluruh perbincangan saya bersama teman-teman saya terus terjerumus kearah pertanyaan-pertanyaan tersebut. Banyak jawaban yang saya terima. Ada yang bilang kebahagiaan itu ada kalau kita percaya kebahagiaan itu ada. Ada pula yang bilang kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya. Teman yang lain berkata kesempurnaan hanyalah penyakit dalam kehidupan manusia yang obatnya tak kan pernah ditemukan. Bahkan, ada teman saya yang yakin mengatakan sempurna itu ilusi. Namun jawaban-jawaban tersebut belum bisa saya terima.
Sampai suatu
ketika, saya mencapai titik terendah saya. Persis saya ingat hari itu: 10
Desember 2014. Ketika tekanan dari seluruh aspek kehidupan sudah tidak bisa
saya dibendung lagi, hati boleh mati rasa, tapi fisik saya tidak. Tekanan ini
membuat saya tumbang, flu berat dan migraine yang tidak saja membuat saya lemah
secara fisik, namun lemah secara jiwa. Cuma bisa dideskripsikan sebagai capek lahir batin.
Saya ingat saya pergi ke kampus sore hari untuk meeting. Muka saya kusut tak keruan. Selama meeting saya cuma bisa diam, senyum jika dibutuhkan. Pulangnya saya berjalan kaki dari gedung fakultas. Cuma itu yang saya ingat. I was in auto-pilot mode. That part of the day was a blur.
Saya ingat saya pergi ke kampus sore hari untuk meeting. Muka saya kusut tak keruan. Selama meeting saya cuma bisa diam, senyum jika dibutuhkan. Pulangnya saya berjalan kaki dari gedung fakultas. Cuma itu yang saya ingat. I was in auto-pilot mode. That part of the day was a blur.
Bagaikan
ibu saya memiliki telepati, persis sampai dikama saya langsung mendapat telepon
dari ibu saya. Ia menanyakan kabar saya, mengekspresikan rasa kangennya karena
sudah lama saya tak pulang. Ketika Ia hendak mengakhiri telepon, Ibu saya
spontan mengucapkan kalimat sederhana, “jangan lupa berdoa, ya!”
Berdoa.
Those words suddenly dawned on me. Saya sering kok berdoa, tapi tidak membuat saya lengkap. Tapi saya kehabisan opsi. Saya gak tau musti kemana. Hari itu saya berdoa, namun tidak sembarang berdoa. Doa yang saya panjatkan kali ini tidak seperti doa yang sering saya panjatkan, alih-alih malah seperti curhat kepada sahabat lama yang sudah tak bertemu bertahun-tahun.
Saya menumpahkan semuanya. Rasanya seperti bak air yang sudah penuh, tidak bisa membendung air dari keran lagi. I let go of the wall that I used to build so high up. Saya hanya bicara, bicara, dan terus bicara. Kadang diselingi tumpahan air mata. Tiba-tiba saya merasakan suatu perasaan aneh. Rasa yang sudah lama tak saya dapatkan.
Saya merasa damai. Seperti beban yang baru saja diturunkan dari badan saya. Saya merasakan utuh, seakan saya mengenal diri saya sendiri lagi. Saya teringat saya masih terus berbicara, namun kini arah doa saya berubah. Instead of bitching and moaning about life, I started to thank about everything in my life. Saya mulai mengucap syukur atas teman-teman disekitar saya yang mensupport saya. Saya mengucap syukur untuk kehidupan yang Tuhan berikan. Saya mensyukuri segala hal yang Ia berikan. And the moment I said amen, my heads become clearer. Dan percayalah, kepala yang dingin membuat kita berfikir jernih. As one of my friends always says to me: Where the mind goes, the energy flows, and that's what grows.
I began to think about life the other way around. I started to think about all the things that I got. Mulai dari teman-teman yang ada disekeliling saya, orang tua yang selalu support saya, all the privileges that I have. Hal tersebut membuat saya tersenyum. Dan akhirnya saya mengerti.
I understand that happiness is a choice. Happiness is in the palm of your hands. Stop searching for happiness, but start choosing it! Kebahagiaan tak pernah kemana-mana, Ia selalu ada dalam dirimu. Tak perlu ke ujung dunia untuk mencari kesenangan. Cukup memilihnya. Sesederhana itu.
Ketika mengetahui bahwa jawabannya ada dalam diri saya sendiri, saya pun kembali menanyakan pertanyaan berikutnya: What is perfection? And the answer is as simple as this: you can strive for perfection, but you cannot be it. Accept the fact that nothing in this word is perfect, that the imperfection is the perfection itself.
Jadi buat kamu yang actually membaca tulisan gila ini, mari berkaca dan lihat diri kita sendiri. Apakah kita sudah ‘bahagia’? Masih mencari kesempurnaan? Jawabannya ada didepanmu, refleksi dirimu sendiri yang sedang melihat kembali dirimu yang sebenarnya. Kamu yang harus memilih kebahagiaan itu. Kamu yang harus menerima kenyataan bahwa ketidaksempurnaan adalah kesempurnaan itu sendiri. Stop searching out, start looking in.
Masuki tahun baru dengan kebahagiaan dan kesempurnaan sebenarnya.
HAPPY New Year. Don’t worry, be happy.